Aku dan Hiroo Mosque
By. Azizah (Maret 2007 M)
“Omatase itashimashita,” kata Ayumi kepadaku setelah ia ijin pergi sebentar tadi.
Aku yang sedang membaca buku tentang Hiroshima di taman dekat Hiroo Mosque, kemudian menghentikan bacaanku.
“Kamaimasen,” jawabku sambil tersenyum.
“Tidak terasa, musim semi sudah datang...,” Ayumi seperti berkata pada dirinya sendiri. Kemudian ia duduk di dekatku bersama anak kecil yang tidak lain adalah anaknya.
“Ingatkah kau dengan Fathir? Sudah hampir tiga musim semi ini dia tidak datang juga padaku. Padahal aku dan Husain selalu merindukannya di sini. Apa ia akan datang pada kami, Aisha?” tanya Ayumi kemudian padaku.
Aku memandangi wajah Husain kecil yang sibuk memakan es krim coklat yang baru dibeli bersama ibunya.
“InsyaAllah, ia pasti akan datang. Mungkin saat ini ia masih sibuk dengan rekan-rekan yang lain di Kazakhstan. Bukankah engkau ikhlas merelakannya pergi untuk mengajar di sana? Semoga amal baiknya menjadi tabungan untukmu dan keluargamu di masa depan nanti,” jawabku kemudian. Aku sendiri juga tidak paham, apakah yang aku ucapkan ini bisa meredakan kegelisahan Ayumi.
“Ya, kau benar. Meski terkadang aku juga khawatir dengan keadaannya, tapi aku yakin Allah akan menjaganya di sana...” kulihat wajah Ayumi sedikit tersenyum.
“Baiklah lebih baik kita pulang sekarang, hari sudah malam,” ajak Ayumi.
Aku mengangguk mendengar kalimat terakhirnya, karena hari ini aku sudah sangat lelah sekali setelah seharian membantu kegiatan yang diadakan di Hiroo Mosque.
Sesampai di rumah, aku langsung mencuci muka, tangan dan kakiku. Sementara Ayumi dan Husain juga menuju kamar mereka yang bersebelahan denganku. Aku melihat foto-foto kami yang ada di rak buku di kamarku.
Kami sudah satu setengah tahun tinggal bersama di rumah ini. Aku mengajaknya tinggal bersama agar tidak merasa kesepian. Dulu aku membeli rumah ini dengan mencicil tiga kali melalui temanku bernama Yakuri, karena keluarganya terlibat hutang dengan lintah darat. Kebetulan aku mempunyai tabungan waktu itu dan juga karena aku ingin merasa nyaman tinggal di kota ini.
Aku memang tidak sengaja mengenal Ayumi. Dulu kukira dia seperti kebanyakan orang Jepang yang sangat kaku dan keras. Entah sifat darimana, ternyata dia juga lembut seperti orang Jawa. Kami bertemu ketika ia mengutarakan keinginannya untuk bersyahadat di Hiroo Mosque. Saat itu, aku dan teman-teman dari Indonesia sedang sibuk menyiapkan acara untuk menyambut tahun baru Hijriah bersama teman-teman muslim dari negara lain juga.
Aku berada di Tokyo, karena aku ingin belajar langsung mengenai sosial dan budaya orang Jepang. Dan aku menjadi betah berlama-lama di sini, meski masa belajarku telah habis di tahun kemarin. Saat ini aku masih bekerja sebagai editor di media ‘Moslem’ sejak empat tahun yang lalu dan terkadang membantu kegiatan-kegiatan di Hiroo Mosque jika aku mempunyai waktu luang setelah bekerja.
Setelah beberapa bulan Ayumi belajar Islam, kemudian ia bertemu Fathir yang merupakan orang berkebangsaan Pakistan. Mereka kemudian menikah dengan acara yang sederhana dan selanjutnya tinggal di rumah Fathir yang merupakan seorang pengajar di Tokyo University. Karena waktu itu Fathir masih terikat kontrak dengan tempat kerjanya, maka iapun berpindah-pindah dalam mengajar.
Dan sampai sekarang Ayumi dan aku tidak pernah tahu keberadaannya. Yang kami tahu bahwa ia dipindah ke Kazakhstan yang merupakan negara bagian pecahan Rusia.
Dan Ayumi yang sedang mengandung pun tidak dapat diikutkan dalam perpindahan tersebut dengan alasan kesehatan yang tidak baik. Ayumi seringkali pingsan karena memang kondisi badannya yang lemah.
Di Kazakhstan pun, Fathir tidak pernah berkirim surat atau sekedar menelepon Ayumi. Sementara Ayumi tidak tahu pasti alamat yang ada di sana. Kami sudah berulangkali menanyakan kepada bagian pusat tentang kepindahan Muhammad Fathir, namun berbagai alasan yang dibuat, seolah-olah Fathir lenyap ditelan bumi.
Akhirnya Ayumi pun kuajak tinggal saja bersamaku daripada dia harus sibuk bekerja sendirian mencari nafkah untuk Husain, padahal badannya mudah lelah dan sakit. Aku senang bisa membantu mereka, dan juga karena Ayumi sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di Tokyo. Jadi akupun juga punya teman untuk bercerita...
Ayah dan ibunya telah meninggal dalam kecelakaan kereta api. Sedangkan Ayumi hanyalah anak tunggal, dan dia tidak begitu akur dengan saudara-saudara dari ayah ibunya.
Alhamdulillah, dalam waktu yang terus berlalu, akhirnya Ayumi melahirkan Husain yang lahir dengan sehat melalui operasi caesar, dan sekarang dia sudah berumur dua tahun.
Bagiku, Ayumi sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Kakakku di Jawa tidak sebaik dia...
Ah, kenapa aku membanding-bandingkan. Tapi aku memang sedang menghindari untuk bertemu keluargaku di Jawa. Mereka menyakiti hatiku yang aku tidak memahami duduk permasalahan yang ada ketika itu. Selain keinginanku untuk belajar di Tokyo, aku juga ingin menenangkan diriku. Aku masih menyimpan juga foto-foto kenanganku di Jawa bersama ayah ibu dan kakak-kakakku serta teman-teman.
Ayahku telah lama meninggal. Beliau meninggal karena sakit parah yang dideritanya. Ketika itu aku masih duduk di bangku kelas dua tingkat sekolah menengah pertama.
Ah, sudahlah... aku sudah berusaha memaafkan mereka untuk beberapa tahun ini, meski aku tak tahu kapan aku akan kembali ke Jawa, tapi aku juga berat meninggalkan Tokyo. Entahlah...
Di kamar aku melirik jam dinding, sudah jam sebelas malam lewat tigapuluh menit. Aku merebahkan diri di tempat tidur, dan berdo’a setelah meletakkan album fotoku di tempatnya semula. Aku pun mulai memejamkan mata...
Sayup-sayup terdengar seperti suara ketukan pintu. Aku tidak begitu menanggapinya. Mungkin hanya suara cicak di langit-langit kamarku. Tapi suara itu terdengar lagi dengan irama yang cepat namun tidak keras. Aku melihat jamku, masih tengah malam. Mungkin Ayumi...
Aku membuka pintu kamar dengan perlahan.
“Maaf Aisha mengganggu, tapi Husain badannya demam. Apakah masih ada sisa obat demam yang kau belikan beberapa waktu lalu?” tanya Ayumi dengan wajah panik.
“Oh, tentu. Chotto matte kudasai,” jawabku sambil segera menuju lemari obat di samping jendela kamar.
“Apa Husain terjatuh hari ini?” tanyaku pada Ayumi setelah memberikan obat demam pada Husain.
“Seharian ini aku sibuk memasak kue untuk Neha, karena ia ingin membawa kue-kue itu besok. Aku hanya memberi makan dan menidurkan Husain saja di sela-sela waktu yang ada. Aku tidak begitu banyak memperhatikannya. Kurasa aku kurang berhati-hati, sehingga aku tidak tahu apakah dia terjatuh atau tidak, karena dia juga tidak menangis hari ini,” Ayumi seperti merasa bersalah.
“Baiklah, aku akan memijitnya sebentar. Dan setelah itu mungkin pagi nanti ia akan baikan,” kataku menenangkan Ayumi.
Tahun-tahun ini sejak kelahiran Husain, Ayumi memang merasa berat, karena ini pengalaman pertamanya menjadi seorang ibu. Untunglah, dulu aku pernah mengasuh beberapa anak kecil di Jawa, jadi aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Walaupun aku tidak banyak tahu, tapi setidaknya aku sering membaca buku-buku tentang kesehatan anak. Membaca apa saja bagiku perlu dan Ayumi pun beberapa waktu ini jadi ikut ketularan hobiku itu, sehingga ia bisa memasak kue dan menerima pesanan.
Tentunya pada waktu-waktu tertentu, agar dia tidak kelelahan.
Setelah selesai dengan tugasku pada Husain, aku menciumnya dan kemudian pamit pada Ayumi kembali ke kamarku. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul tiga dinihari. Aku menggosok gigi dan berwudlu, lalu sholat lail dan mengaji sambil menunggu waktu Subuh tiba.
Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang lebih cepat sampai menuju Hiroo Mosque. Aku tak bosan melihat pemandangan yang ada di sisi kanan kirinya. Ah, andai tempatku dari kecil seperti ini...tapi kapan akan sesejuk dan sebersih ini? Kedamaian ini indah terasa di hati.
Aku enggan melepasnya dan pulang kembali dengan perasaan yang tidak menentu...
Saat ini aku hanya ingin agar Ayumi dan Husain bisa bertemu Fathir kembali, karena aku cemas sekali dengan perasaannya yang mudah goyah. Aku ingatkan, agar Ayumi lebih sering beribadah sunnah, sehingga ia merasa tenang menghadapi ini semua.
Seperti halnya semua... aku juga harus bisa memberikan yang terbaik pada Allah, sebagai wujud rasa syukur atas kehidupan selama beberapa tahun ini di Tokyo. Aku ingin pulang, namun menunggu waktu yang tepat itu tiba...entah kapan. Namun, aku akan berusaha bisa membaikkan kembali hubunganku dengan saudara-saudaraku.
“Assalamu’alaikum...tadaima,” sapaku setelah masuk rumah dan berjumpa Husain di depan pintu.
“Wa’alaikum calam, okaelinasai (Okaerinasai),” jawab Husain terdengar lucu.
“Mana ummi, Husain?” tanyaku pada Husain sambil melepaskan sepatuku. Dan memburu untuk mencium pipinya.
Husain yang sudah pandai berbicara ini mengatakan kalau ibunya sedang memasak dan akan ada tamu yang datang nanti malam. Suara Husain terdengar lucu sekali karena ia juga belum fasih mengucapkan beberapa huruf.
Ada tamu... hatiku bertanya-tanya, siapa dia...
“Oh, Aisha sudah datang,” sambut Ayumi sambil menjabat tanganku dan menciumku.
“Alhamdulillah, tadi pekerjaan sudah kuselesaikan dengan cepat. Kata Husain, nanti ada tamu ya. Siapa?” selidikku pada Ayumi.
“Alhamdulillah. Katanya Neha, dia mau membawa beberapa teman lamanya kesini. Aku juga belum tahu siapa mereka. Tapi katanya aku kenal dengan salah seorang dari mereka. Jadi tidak ada salahnya kan kalau aku masak agak banyak hari ini? Ada ramen, beberapa sunomono, miso shiru, budo, dan aisukuriima. Tapi ada juga sukiyaki dan makanan yang lain kalau Aisha tidak mau makan mi,” tawaran Ayumi membuatku merasa lapar.
“Baiklah nanti aku minta sukiyaki dan es krimnya ya... Boleh kan? Kalau bisa budo juga,” jawabku sambil tertawa.
Eh, itu sih bukan yushoku...tapi nyemil bin ngemil, tawaku dalam hati.
Tapi itulah, kalau sudah masalah makanan sepertinya aku ingin segera melahapnya.
Ayumi mengangguk sambil tersenyum.
Husain kuajak bermain setelah aku menyelesaikan sholat Isya’ku.
Tidak lama terdengar suara ketukan pintu dari ruang tamu. Ayumi kuminta agar tetap di tempatnya, aku dan Husain menuju pintu depan.
“Assalamu’alaikum ukhti...” salam dari Neha setelah aku bukakan pintu.
“Wa’alaikum salam warahmatullah. Neha, ogenki desu ka?” tanyaku dengan gembira tanpa melihat teman Neha lainnya yang ada di belakangnya.
“Alhamdulillah. Kemarin saya kesini mengambil kue, ukhti tidak ada di rumah. Sibuk sekali rupanya. Saya ingin memberi kabar baik untuk Ayumi, apa dia ada?” tanya Neha padaku.
“Mestinya saya yang dicari, nih...tapi ada kok, silakan masuk dulu, anggap saja rumah sendiri,” jawabku tersenyum sambil menggendong Husain yang merajuk. Lalu akupun memanggil Ayumi dan aku memberikan Husain padanya. Aku memberi isyarat agar ia menemui Neha dan teman-temannya, sementara biar aku yang menyiapkan hidangan yushoku.
Karena di dapur aku sibuk sendiri, aku tidak begitu tahu apa yang mereka perbincangkan. Tetapi tampaknya aku mendengar seperti ada yang menangis. Menangis.. siapa yang menangis?
Aku segera ke ruang depan.
Di antara orang-orang itu, aku melihat Ayumi menangis di pelukan seorang laki-laki.
“Fathir..” suaraku menggantung.
Laki-laki itu mengangguk, dan aku segera saja tersenyum gembira. Ini dia rupanya, tamunya, kata hatiku.
Kemudian dengan tidak ragu-ragu lagi, aku mempersilakan akhwat untuk ke ruang makan, dan membantuku membawakan makanan untuk tamu ikhwan di ruang tamu.
Untuk akhwat selain ada Ayumi, Neha dan aku, ada juga Shizuka dan Maida. Untuk ikhwannya, ada Fathir, Nahed, Mohme yang keturunan China dan juga Yakuri.
Dari mulut Neha, aku dengar Yakuri sudah masuk Islam setelah selesai melunasi hutangnya pada Meshuki. Dan ia sudah tinggal dengan tenang sekarang bersama kedua orang tuanya di dekat lingkungan Arabic Islamic Institute, berarti juga dekat dengan Hiroo Mosque
Tapi kenapa aku jarang ketemu ya?
Lalu dari Neha aku jadi tahu, kalau selama ini Fathir telah mengajar di daerah yang sangat terpencil di Kazakhstan. Ia diisolasi oleh penduduk yang mayoritas tidak menyukainya, agar tidak keluar dari wilayah itu. Karena itu untuk segala aktivitas apapun, Fathir selalu diawasi dengan ketat oleh penduduk, termasuk hanya untuk sekedar masuk dan keluar rumah.
Begitu sulit rupanya, suara hatiku.
Tidak itu saja, karena Fathir adalah salah satu pengajar yang dikirim dari Tokyo, ia dianggap bisa mengetahui teknologi-teknologi yang sedang dikembangkan oleh Jepang dan akan memberontak dengan segala pemikiran Islam-nya yang dianggap oleh sebagian besar penduduk termasuk idealis dan teroris.
Setelah masa bertugas di daerah itu selesai, malam hari dengan memberi obat tidur lewat minuman pada orang yang mengawalnya, Fathir menyamar bersama Mohme untuk pergi meninggalkan daerah itu menuju Islamic Center yang jaraknya sangat jauh. Karena takut dicurigai mereka akhirnya memilih berjalan kaki dan tiba di Islamic Center di pusat ibukota Kazakhstan pagi harinya. Dan berkat bantuan teman-teman di sanalah, akhirnya mereka bisa kembali dengan selamat dan sekarang bisa membuat Ayumi kembali tertawa. Alhamdulillah...
Setelah semua selesai makan dan bercerita, teman-teman berpamitan menuju rumah masing-masing dengan membawa keceriaan di hati. Begitu juga aku...
Ayumi dan Husain menginap di dekat Hiroo Mosque bersama Fathir. Aku pikir, tidak apa-apa. Sepertinya Husain juga ingin ikut bersama Fathir.
Setelah semua tidak terlihat, aku segera menutup pintu dan merapikan ruangan yang agak berantakan.
Belum sempat kuletakkan piring kotor di tempat cucian, kudengar telepon berdering di ruang tengah. Aku segera menuju ruang tengah dan mengangkat gagang telepon.
Sebenarnya aku tidak ingin ini terjadi. Tetapi apa yang bisa kuperbuat. Aku tidak bisa pulang sekarang juga, tabunganku hanya cukup untuk keperluan sehari-hari. Untuk membeli tiket ke Jawa?
Kakak perempuanku telah menyusul ayah pergi ke tempat-Nya. Ia mengalami kecelakaan bersama kakak iparku ketika akan pulang ke rumah setelah selesai berbelanja di pasar. Ada sebuah motor dengan kecepatan tinggi yang menabrak motor mereka. Kakak iparku mengalami luka berat, sedang kakak perempuanku meninggal di tempat setelah terseret beberapa meter.
Aku mengatakan pada kakak laki-lakiku yang menelepon, bahwa aku tidak bisa pulang saat ini. Karena tabunganku belum mencukupi untuk pulang. Sebenarnya aku juga menghubungi Neha, namun aku tidak jadi mengatakan akan meminjam uang padanya. Ia juga punya banyak keperluan.
Aku juga tak ingin menceritakan ini pada teman-teman yang lain.
Aku hanya bisa berdo’a agar semua keluargaku diberi ketabahan dan sanggup merelakan kepergian kakakku. Begitu juga aku di sini... aku belum sempat minta maaf padanya. Kesalahan yang ia perbuat padaku dulu, sudah aku lupakan. Namun, aku ingin sekali meminta maaf padanya, karena bagaimanapun dengan kenekatanku-lah akhirnya aku meninggalkan masalah itu. Dan aku merasa masih belum usai.
Semoga engkau tenang di sana, wahai kakakku... maafkan aku, adikmu ini...
Tiga bulan kemudian...
“Lho Aisha kok tidak makan?” tanya Ayumi ketika berkunjung ke rumah dengan Husain.
“Ah, tidak apa-apa kok. Lagian Aisha masih lelah nih, hari ini pekerjaan sangat bertumpuk dan melelahkan. Mungkin masih kecapekan,” jawabku tidak semangat.
“Aisha sakit?” tanya Ayumi kemudian sambil memegang dahiku.
“Ya Allah, badan Aisha panas sekali? Sebentar ya, Ayumi teleponkan Neha agar bisa bantu membawa Aisha ke rumah sakit,” Ayumi segera berlari ke tempat telepon tanpa mendengar suaraku yang melarangnya.
Aku berada dimana... tanya hatiku, sebelum mataku terbuka penuh.
Yang kulihat sekarang, hanya ruangan yang bersih dengan sebotol infus menggantung di samping kanan tempat tidurku yang memberi cairan melalui jarum di tangan.
Kepalaku terasa berat sekali dan mataku belum mampu menerima cahaya yang ada di sekitarku. Tiba-tiba terdengar pintu dibuka.
Ternyata teman-teman yang datang menjengukku. Sedangkan sayup-sayup kudengar Neha bercerita kepada mereka mengenai kondisiku. Neha dan Ayumi-lah yang menjaga aku di rumah sakit. Yang aku dengar, katanya sudah dua hari aku berada di tempat ini. Sebelumnya aku membuat Ayumi dan Neha khawatir, karena tidak juga tersadar.
Beberapa saat aku tersadar, Neha masih berada di luar ruangan bersama teman-teman yang lain tadi.
Ia tampak terlihat senang sekali, ketika aku berusaha duduk lebih tegak dengan bersandar. Ia segera kembali keluar dan memanggil dokter yang menanganiku. Sedang Ayumi membantuku meletakkan bantal di punggungku.
Dua tahun kemudian...
“Apa engkau nanti akan pulang?” tanya Yakuri padaku ketika aku selesai membersihkan ruang pertemuan di Hiroo Mosque.
“InsyaAllah. Aisha belum tahu kapan. Rencana itu pasti ada, kan? Namun Allah yang berkehendak,” jawabku pada Yakuri.
“Apakah anti punya waktu barang sejenak?” tanyanya lagi padaku.
Aku merasa tidak enak dengan suasana ini. Aku mengiyakan namun meminta ijin padanya agar ada Ayumi dan Neha yang menemani. Yakuri menyetujuinya. Ia juga mengajak Ustadz Zuiddin serta Nahed.
“Barakallahu laka wa barakallahu ‘alaika wa jama’a bainakuma fii khaiir” do’a syahdu itu mengiringi perjalanan walimah kami.
Aku dan Yakuri menikah dengan dihadiri oleh semua teman-teman terdekat kami. Sedang aku berwalikan kakak laki-lakiku yang sengaja datang dengan biayanya sendiri untuk bisa menyaksikan pernikahan adiknya. Ibu dan kakak-kakakku yang lain hanya bisa mengirimkan beberapa oleh-oleh dan salam karena keterbatasan biaya. Mereka meminta foto-foto pernikahan kami dan meminta maaf atas beberapa kesalahan yang selama ini membuat aku terluka. Akhirnya aku bisa membina hubungan baik dengan mereka kembali walau belum juga bisa bertatap muka.
Sedang Yakuri ternyata diminta oleh orang tuanya untuk melamarku dan dia baru bisa mengatakannya padaku setelah meminta pertimbangan dari teman-teman dan juga Ustadz Zuiddin.
Dan sebelum Yakuri diminta oleh orang tuanya, ia telah membicarakan ini dengan Ustadz Zuiddin. Padahal aku tidak mengetahui sama sekali rencana ini.
Aku hanya ingin menikah tanpa ada pacaran. Karena aku ingin semua berjalan baik dan tulus hanya karena Allah.
Pun juga mencintai Yakuri. Aku yakin Allah telah memberikan yang terbaik melalui cara-Nya. Walaupun Yakuri seorang muallaf, namun ia sangat rajin sekali beribadah dan berusaha menjalankan agama Islam-nya dengan kaffah.
Aku pun tidak akan memendam persoalanku sendiri lagi, karena hal itu membuat aku jatuh sakit yang demikian parah setelahnya. Kini telah ada teman berbagi bercerita dan berdiskusi.
Dan ternyata Yakuri juga menghadiahi aku dengan mengantar pulang ke Indonesia agar aku tidak terlupa untuk segera meminta maaf kepada keluarga.
Terima kasih Ya Allah atas anugerah-Mu...
Semoga kenangan-kenangan indah di Hiroo Mosque terus berulang dan tidak pergi lagi dariku...
Keterangan :
Omatase itashimasita : maaf, menunggu lama
Kamaimasen : tidak apa-apa
Hiroo Mosque : masjid pertama di Jepang (Tokyo)
Chotto matte kudasai : tolong tunggu sebentar
Tadaima : aku pulang
Okaerinasai : selamat pulang kembali
Ramen : mie kuah (makanan China)
Sunomono : makanan pembuka
Miso shiru : sup Miso
Sukiyaki : makanan Jepang
Budo : buah anggur
Aisukuriima : es krim
Yushoku : makan malam
Ogenki desu ka : apa kabar
Kazakshtan : salah satu negara pecahan Rusia yang mayoritas penduduknya adalah muslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar