Sabtu, 30 Juni 2007

Cerpen : ANDI

ANDI

17 Juli 2005
Anak itu bernama Andi.
Ia dan teman-temannya selalu berebut untuk mengambil uang parkir dari setiap pengunjung di toko itu. Pertama melihatnya, entah kenapa, aku begitu menyukainya.
Ia sangat lucu dan suka menunduk malu-malu.
“Sudah lama ya, menjadi tukang parkir?” tanyaku suatu waktu ketika kami bertemu lagi.
“Sudah mbak, sejak saya tidak sekolah lagi,” jawabnya sambil tersenyum.
Anak sekecil ini sudah tidak sekolah?
Padahal ia masih sangat muda sekali. Mugnkin kalaupun ia sekolah, baru memasuki kelas 4 sekolah dasar.
Aku jadi senang bertemu dengan Andi dan teman-temannya. Mereka sudah hapal motorku dan selalu mengerubunginya. Kami juga sering pergi bersama-sama ke Masjid Istiqomah. Di masjid itu Andi dan teman-temannya hanya sekedar melihat-lihat samping masjid yang berupa lapangan bola.
Di lapangan itu, setiap pagi dan sore selalu ramai oleh para pengunjung yang ingin berolahraga atau bersantai. Dan sepertinya mereka senang melihat pemandangan itu.
Kadang Andi membawa empat atau lebih teman-temannya, sehingga kalau jalan dengan mereka, aku harus bolak-balik mengambil dan menjemput mereka. Kalau membawa semua sekaligus, meski jarak rumah mereka dekat, tapi sangat beresiko karena di jalan raya.
Tapi aku sangat senang sekali...

25 Juli 2005
Mereka masih saja terlihat dekil. Padahal aku sudah menyuruh mereka agar mandi yang bersih. Memang begitulah anak-anak, apa aku dulu begitu juga ya? Hehe...
Aku tidak tahu pasti yang mana rumah mereka berada di antara toko-toko itu.
Sudah beberapa hari ini aku punya kesibukan yang amat padat, jadi aku tidak bisa bertemu dengan Andi dan teman-temannya.
Mereka lagi ngapain ya?
Aku ingin mereka dipedulikan. Padahal daerah tempat tinggal mereka di dekat kantor DPRD dan PEMKOT. Kenapa tidak ada yang mau memperhatikan mereka sih? Dan membantu menyekolahkan mereka? Kemana semua, orang-orang yang seharusnya membantu pendidikan mereka dan masa depan mereka? Ah, entahlah...
Lantas apa maksud dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34?
Bahwa, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
Ah, siapa yang bisa membantu untuk menyekolahkan mereka?
Tanyaku terus berulang-ulang, tapi entah kapan bisa terjawab.

28 Juli 2005
Anak-anak tetangga itu sepertinya senang sekali...
Oh, ternyata mereka akan mulai tahun ajaran baru rupanya. Aku jagi ingat masa-masa sekolahku dulu. Berangkat dan pergi ke sekolah naik sepeda. Melihat pemandangan sekitar yang masih bnayak berupa sawah-sawah. Wah, tinggal di desa itu sungguh indah dan nyaman.
Tidak ada banyak polusi, udara sejuk di pagi hari dan semuanya riang gembira. Aku dan teman-teman suka bermain di lapangan di desaku ketika bulan purnama.
Aku jadi merindukan kampung halaman... Bagaimana sekarang, ya? Mungkin sudah banyak berubah, karena sudah 10 tahun lebih aku pergi ke luar pulau.
Lalu bagaimana Andi saat ini, ya?
Ia pasti sedih melihat teman-teman sebayanya pergi ke sekolah.
Siang ini aku ingin bertemu dengannya dan memberikan buku bacaan anak-anak yang kubeli sore kemarin padanya. Entah kenapa, aku hanya teringat nama Andi saja, ya?
Sedang teman-temannya, kadang aku keliru atau terbalik memanggil nama mereka.

30 Agustus 2005
“Ada copet!! Kejar dan tangkap dia!” teriak orang-orang di pasar itu ramai.
Ada apa ya, kira-kira? Tanyaku dalam hati.
Akupun segera memarkir motorku di depan toko Surya dan bergegas lari ke tempat kerumunan itu.
Oh, Ya Allah...
Orang yang mereka sebut copet itu digebuki beramai-ramai. Aku mencoba menahan diri. Tapi aku sedikit lega, karena kemudian ada beberapa petugas pasar yang segera bertindak cepat melerai amukan massa itu.
Orang yang dibilang copet itu terlihat bergelimang darah di sekitar wajahnya. Dan sekujur badannya tampak lebam-lebam.
Darah! Aku segera menutup kedua mataku, karena tidak tahan melihatnya. Cita-citaku memang bukan di bidang kesehatan. Allah...mengapa aku yang gemetaran, ya?
Akhirnya kerumunan massa itupun bubar.
“Pak, ada apa tadi itu?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Itu, si Karmin. Dia suka sekali mengambil barang orang. Padahal kami sudah sering menasihatinya. Tapi ia tetap bandel. Tadi itu, dia nyopet orang yang belanja di pasar ini, seorang ibu-ibu. Ibu itu berteriak minta tolong dan spontan saja warga sini langsung mengejarnya. Saya tidak tahu kalau itu si Karmin. Jadi saya ikut nggebukin, mbak. Karena seringnya dikasihani, orang-orang sini jadi tambah kesel dengan kelakuannya,” cerita bapak itu dengan geram.
Lalu ia pamit untuk kembali ke tempat jualannya di depan pasar.
Heh...cukup menegangkan sekali hal itu.
Akupun segera beranjak pula ke tempat parkiran. Aku sungguh heran...kemana anak-anak itu dan juga Andi? Biasanya mereka sudah mengerubungi motorku?
Aku bertanya pada petugas keamanan ruko, mungkin bapak itu melihat anak-anak yang biasanya mangkal di sini. Tapi rupanya ia juga tidak tahu.
Aku menstater motorku dan berkeliling ke sekitar pasar dan masjid, mungkin aku bisa menemukan mereka. Tapi tak ada juga...kemana mereka?

5 September 2005
Aku tidak peduli dengan pekerjaanku yang menumpuk. Aku hanya ingin ketemu Andi dan teman-temannya. Mungkin siang atau sore ini aku bisa ke pasar menemukan mereka.
“Assalamu’alaikum. Pak, belum ada anak-anak yang biasa jadi tukang parkir di sini, ya?” tanyaku pada pedagang kaki lima di samping toko.
“Eh, wa’alaikumsalam, mbak. Anak-anak siapa, ya?” bapak itu masih sibuk melayani pembelinya, namun ia menoleh sebentar padaku.
“Eng...namanya Andi dan teman-temannya saya nggak terlalu hapal. Apa bapak kenal?” tanyaku lagi/
Bapak itu tampak menghela napas dan melihatku. Aku jadi kaget.
“Bapak kenal Andi?” tanyaku lagi dengan kaku.
“Saya kenal, mbak,” jawabnya sambil kembali bekerja.
“Beberapa hari ini, dia memang sudah tidak tinggal di daerah sini. Dia sama ibunya pindah ke tempat lain. Saya tidak tahu tempatnya. Memangnya mbak siapa?” bapak itu ganti bertanya padaku.
Lalu akupun menceritakan tentang pertemuan dan pertemanan kami pada bapak itu.
“Ibunya malu tinggal di sini, mbak,” lanjutnya kemudian setelah mendengar penjelasanku.
“Malu, pak. Malu kenapa?” tanyaku tidak sabar.
“Beberapa waktu lalu suaminya ketahuan mencopet dan ia digebukin sama warga sini. Saya tidak mengenal betul, sih. Tapi kata orang-orang sini, baru kali ini ayahnya si Andi itu digebukin dan dibawa ke kantor polisi. Sekarang ada di tahanan. Istrinya kerja sebagai tukang cuci dan tiap diberitahu kalau suaminya seorang pencopet, ia tidak pernah percaya. Suaminya aja yang kelewatan, kerja nggak bener,” bapak itu terdiam sebentar sambil memberi uang kembalian kepada pembelinya.
“Istrinya baru percaya kalau suaminya pencopet, ya karena digebukin itu. Apalagi selama ini, kata orang-orang hasil copetan itu digunakan untuk beli minuman keras dan berjudi. Orang-orang sini jadi kesal dan akhirnya ikut nggebukin,” bapak itu melanjutkan ceritanya dengan wajah geram sekaligus sedih.
Sedang aku...
Cerita bapak itu cukup membuatku shock. Berarti beberapa hari lalu...

7 September 2005
“Andi ya...?” tanyaku sambil mengejar anak yang seusia Andi.
“Maaf,” ujarku, setelah tahu itu bukan Andi.
Entah kenapa aku belum bisa melupakannya. Bagaimana keadaannya?
Seandainya aku bisa menemukannya... Aku ingin buku bacaan ini dibacanya dan kami bisa makan bareng lagi di emperan toko itu...
“Mbak. Mbak yang namanya Mbak Iffah, kan?” tanya seorang anak tiba-tiba.
“Kamu Ambo, kan?” tanyaku sedikit girang dan tidak menjawab pertanyaannya.
Ia mengangguk.
“Kemana Andi, Ambo? Apa engkau tahu alamatnya sekarang?” tanyaku tidak sabar.
“Saya tidak tahu, mbak. Tapi kami pernah ketemu. Waktu dia datang kesini nanyain mbak. Katanya, dia mau ikut mbak aja, mbak orangnya baik. Katanya, di rumah ibunya suka marah-marah. Ia tidak bercerita banyak dan kami main sampai siang. Setelah itu dia pergi, mbak,” cerita Ambo padaku.
“Apa dia tinggal jauh dari sini, Ambo?” tanyaku lagi.
“Iya mbak. Kan, saya tadi bilang tidak tahu? Saya tidak banyak tanya ke Andi, karena akmi lebih banyak bermain dan cari parkiran. Kami main dengan teman-teman yang lain uga,” jawab Ambo sedikit kesal padaku.
“Oh, iya ya. Maaf ya, Ambo. Ya, sudah. Kalau gitu panggil teman-temanmu yang lain. Kita makan kue, yuk! Kebetulan mbak bawa tadi dari rumah,” kataku dengan sedikit bingung dan tidak mencoba bertanya lagi.
Tak berapa lama, teman-teman Ambo datang. Mereka menyapaku dan duduk di dekatku pada emperan toko. Lalu aku meminta mereka untuk menunggu sebentar dan membeli beberapa bungkus es cendol. Mereka saling berebut dan bercanda.
“Eh...baca do’a dulu dong! Ayo, siapa yang mau memimpin membaca do’a sebelum makan?” tanyaku pada mereka.
Mereka saling tunjuk, akhirnya ada yang mau memimpin...
“...Allahumma baariklana fiimaa razaqtanaa wa qinaa ‘adzaaban naari...”
Kamipun makan bersama dengan ceria.

8 September 2005
Sekarang ini, sebenarnya aku pasrah sja tidak bisa menemukan Andi. Sudah berhari-hari aku mencoba mencarinya ke pasar-pasar yang lain, tapi belum bisa kutemukan.
Kasihan dia.
Moga-moga ibunya bersabar dan tidak marah-marah lagi ke Andi. Allah bantu mereka bersabar...
Bagaimanapun, aku juga belum bisa mengajaknya ikut denganku. Entahlah...
Jika aku pergi kerja, siapa yang akan mengajaknya bercerita. Siapa yang akan menjaga dan mengajaknya bercanda?
Aku rindu engkau Andi...

Tidak ada komentar: