SURAT UNTUK SAHABAT
potret_dunia@yahoo.com / SyAzizah@gmail.com
Untuk sahabatku, semoga ini mampu mencerahkan hati yang sedang marah dan sedih...
Balikpapan, Ahad – 10 Dzulqo’idah 1427 H / 01 Desember 2005
Untuk sahabatku,
Ukhti Rani Anantasya
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, bagaimana kabar anti? Semoga selalu dalam lindungan-Nya. Amiin.
Saya ingin bercerita pada ukhti...
Sudah lama rasanya tidak pergi ke pantai, dan hari Kamis sore saya sempatkan untuk kesana. Entah kenapa, saya jadi kangen ingin pergi kesana...
Bertemu ikan hias yang kecil-kecil, memegang kerang kecil dan menaruhnya di atas telapak tangan. Dia tidak menggigit, keluar dari rumahnya dan berbisik pada angin, ia bisa melihat udara sore hari menjelang senja. Sayapun bermain sendirian, tidak peduli...mereka yang ada disana melihat saya seperti anak kecil.
Entah apa yang hilang dari saya. Menatap matahari senja, bermain air dan melihat gelombang, seolah saya menemukan suasana baru dan semangat yang hilang.
Sebelum hari itu, ada seorang siswi SMUN 1 bertandang dan menyapa. Dia sangat ramah dan lucu, namanya Hana. Darinya, meski hanya sebentar bertemu, saya belajar tentang keceriaan dan sikapnya yang santun.
Subhanallah...
Selepas dari pantai sore itu...saya berkeliling kota melihat suasana hiruk pikuk aneka kendaraan dan orang-orang yang pulang dari tempat kerja mereka.
Sepertinya sudah lama, saya tidak berbaur dengan mereka...
Saya juga mencari Andi dan teman-temannya beberapa hari ini. Namun tidak dapat saya temukan. Di ujung pasar, di masjid ataupun di samping toko-toko itu. Mereka sepertinya tahu, bahwa saya tak punya waktu lagi untuk mereka. Dan mereka tidak dapat saya temukan. Ini kesalahan saya...
Sudah beberapa bulan ini, ternyata saya hanya sibuk dengan kesenangan diri sendiri. Lalu saya mendapat SMS dari Mbak Indah, tentang kesibukannya hari itu dan juga menanyakan, kapan saya akan ke Jogja. Ia sudah menyewa rumah sendiri, sehingga kalau saya main kesana, bisa menginap katanya.
Lalu hari ini...
Saya bertemu dengan dua anak laki-laki yang masih ABG banget, mereka datang ke toko. Mereka bercat rambut merah dan berpakaian seperti anak punk gitu.
Mereka bercerita tentang banyak hal dan mengatakan ada niat untuk belajar agama dengan lebih baik lagi. Saya memberi sedikit ‘masukan’ kepada mereka, bahwa jika hanya niat saja maka itu hanya akan seperti angin yang berhembus. Semoga mereka juga mau melaksanakan niat mereka.
Akhirnya mereka pun kemudian pamit dan minta kenalan, walah!
Saya meminta agar mereka memanggil saya ‘ukhti’ saja.
Mereka itu juga lucu...gayanya saja yang seperti preman, tetapi bila mau lembut, mereka juga mau ber-santun akhirnya.
Banyak sekali pelajaran yang saya ambil atas semua hal yang ada. Entah juga di masa lalu saya yang payah ataupun di masa kini yang juga masih saja payah, hehe...entahlah...
Beberapa waktu ini, ketika saya bercerita tentang banyak hal...mereka yang saya temui, mau mendengarkan saya. Ya, biasanya saya yang suka mendengarkan banyak hal dari siapapun yang ingin bercerita. Sedikit lapang hati dan juga gembira.
Ternyata banyak orang yang mendengarkan saya...
Biasanya persepsi di rumah, saya bawa keluar...padahal itu tidak berlaku bagi semuanya. Ternyata persepsi saya egois sekali, menyalahkan banyak orang.
Ada cerita menarik dari Sean Covey pada bukunya, tetapi saya merubah sedikit.
Judulnya ‘DINGIN DALAM HATI’
Enam manusia terperangkap dalam suatu kebetulan, dalam udara dingin yang menusuk, masing-masing memiliki sepotong kayu atau begitulah katanya.
Api unggunnya perlu diberikan kayu lagi, orang yang pertama mengeraskan hatinya, karena di antara wajah-wajah yang mengelilingi api itu, ia lihat satu orang berkulit hitam.
Orang berikutnya melihat seseorang yang bukan dari suku dan agamanya, dan tidak rela memberikan kayunya.
Yang ketiga duduk dengan pakaian compang-camping, ia tutup jaketnya rapat-rapat, kenapa ia harus mengorbankan kayunya demi menghangatkan orang kaya?
Yang kaya duduk diam membayangkan kekayaan yang dimilikinya, dan bagaimna caranya mempertahankan miliknya dari orang miskin pemalas itu?
Wajah orang berkulit hitam itu mencerminkan hasrat menuntut balas (sementara apinya mati), karena yang ia lihat pada kayunya adalah peluang untuk menuntut balas terhadap orang berkulit putih.
Orang terakhir dalam kelompok yang malang ini tidak mau berbuat apa-apa kecuali ada untungnya, memberi hanya pada mereka yang memberi lebih dahulu, adalah prinsipnya.
Kayu-kayu mereka, yang mereka pegang erat-erat dalam tangan kaku mereka , membuktikan keegoisan atas segala perbedaan, mereka bukan mati akibat udara dingin di luar – mereka mati karena dingin dalam hati.
Saya juga pernah membaca dongeng yang ceritanya mirip dengan ini, di waktu kecil. Dalam cerita ini ukhti, sinergi tidak terjadi begitu saja. Itu adalah proses...
Kata Sean Covey, sinergi intinya tercapai kalau dua orang atau lebih, bekerjasama untuk menciptakan solusi lebih baik ketimbang kalau sendirian.
Bukannya jalanmu atau jalan saya, melainkan jalan yang lebih baik, jalan yang lebih tinggi.
Ya, disini saya jadi paham, mengapa orang-orang tersebut mau mendengarkan saya, meski arti sesungguhnya tidak dapat saya temukan.
Masih di buku Sean Covey, ukhti...
‘DENGARKANLAH...’
Kalau aku minta kamu dengarkan,
Dan kamu malah menasihati aku,
Kamu tidak memberikan apa yang kuminta.
Kalau aku minta kamu dengarkan,
Dan kamu malah mengatakan mengapa
Aku seharusnya tidak merasa seperti itu,
Kamu menginjak-injak perasaanku.
Kalau aku minta kamu dengarkan,
Dan kamu malah merasa punya
Sesuatu untuk mengatasi masalahku,
Walaupun tampaknya aneh,
Kamu sungguh mengecewakan aku.
Dengarlah yang kuminta hanya agar
Kamu mendengarkan.
Jangan berbicara atau berbuat – dengarkan saja.
Ya, ternyata memahami yang lain itu sulit. Padahal sebenarnya saya bisa memahami terlebih dahulu sebelum minta untuk dipahami.
Sinergi adalah memanfaatkan perbedaan, kerjasama, keterbukaan pikiran gan menemukan cara-cara baru yang lebih baik.
Sinergi bukanlah mentoleris perbedaan, bekerja masing-masing secara mandiri, berpikir kamu selalu benar dan kompromi dengan yang sudah ada.
Sebenarnya saya mo bercerita apa ya, ukhti... J saya juga bingung, nih...
Tetapi pelajaran yang saya ambil, mungkin selama ini saya masih saja beranggapan, saya-lah yang lebih unggul daripada saudara-saudara saya atau siapapun. Padahal setiap orang memiliki kelebihan, kekurangan dan talenta yang tidak terukur.
Pernah saya merasa cemas, gelisah tak menentu. Dan meski saya memahami cara untuk mengobatinya, saya tidak mencobanya. Saya tidak makan, susah tidur, dan itu terjadi berhari-hari.
Sehingga kemudian Mbak Eya mengatakan pada saya, ayolah! Jangan mau jadi orang yang bodoh. Maksudnya...??
Dalam dunia psikolog, kata Mbak Eya – orang yang mempunyai masalah, lantas tidak makan dan sebagainya, itu dinamakan orang bodoh. Padahal orang lain susah mencari makan, ini ada makanan malah bukan dimakan, tetapi didiamkan dan tidak dimakan.
Iya juga, ya? Akhirnya meski susah payah...saya bisa makan juga meski hanya sedikit setiap harinya.
Mungkin saja juga, orang yang saya beri prasangka buruk, ternyata itulah diri saya yang sendiri yang sebenarnya. Meminta yang lain untuk mengerti, padahal mungkin saya belum mengerti mereka. Meminta apa saja yang mereka pinjam pada saya, di lain hari, saya juga lupa mengembalikan sesuatu yang saya pinjam dari mereka.
Anti pasti ingat cerita seorang sahabat Nabi...
Ketika itu ia bertemu musuh Islam dalam peperangan dan musuh itu meludahi wajah sahabat. Lantas sahabat tersebut tidak jadi membunuhnya. Mengapa?
Karena ia takut, jika ia membunuhnya, maka bukan lagi karena jihad fii sabilillah, namun kemarahan yang diakibatkan oleh wajahnya yang diludahi oleh musuh Islam tadi.
Saya juga pernah marah pada orang-orang di sekeliling saya. Saya berdiam diri, entah pada bagian yang mana saya ada melakukan kemarahan itu...
Padahal Rasulullah SAW telah memberi petunjuk agar saya tak boleh marah (J hehe...semua umatnya, maksud saya) dan mengeluarkan kata-kata yang buruk.
Tetapi ternyata, saya belum bisa mengendalikan diri. Sedikit demi sedikit, letupan itu menjadi kawah gunung berapi.
Ia membakar ladang hati saya, sehingga terlontarlah kemarahan saya yang tiada terkira. Lantas saya ambruk dan kehilangan orang-orang di sekeliling saya, orang-orang yang sangat saya cintai...
Ya, akhirnya saya menyadari. Banyak jalan menuju Roma...
Tidak dalam waktu sekejap saja, saya bisa merubah keadaan diri saya atau orang-orang di sekeliling saya.
Merubah diri saya sendiri adalah hal utama yang semestinya terjadi. Dengan perubahan itu, maka bisa mempengaruhi keadaan di sekitar saya.
Tidak mungkin pula saya menginginkan dunia seperti keinginan saya sendiri. Padahal keberagaman itu, perbedaan itu...adalah agar kita saling kenal dan saling menyayangi satu sama lain di seluruh pelosok dunia ini.
Terdapat pada Al-Qur’an, pada surat apa saya lupa...ah, ya!! Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13.
Juga pada lagu Tazakka...
...bersuku-suku dan berbangsa-bangsa
Agar kita saling mengenal satu dan lainnya...
Subhanallah...
Di sekeliling kita ini banyak sekali ilmu yang belum saya gali. Saya merasa kerdil. Menjadi malu dengan mereka yang telah mempunyai ilmu syukur dan ikhlas.
InsyaAllah...saya akan terus belajar, belajar dan belajar...
Terima kasih banyak telah membaca dan mendengarkan cerita saya, ya ukhti...
Afwan jiddan bila ada yang tidak berkenan. Tetap semangat berjuang, ya ukhti...
Alhamdulillah...
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Dari sahabatmu,
Aisha Famma
1 komentar:
teruskan berkarya...
dan memberikan manfaat :)
Posting Komentar